Senin, 16 Agustus 2010

Sekitar Shalat


Oleh Nurcholish Madjid  
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab  Suci  dan  Hadits Nabi,   dapatlah   dikatakan  bahwa  shalat  adalah  kewajiban peribadatan  (formal)  yang  paling   penting   dalam   sistem keagamaan  Islam.  Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan  shalat  (iqamat  al-shalah,  yakni  menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum  beriman  adalah  pertama-tama  karena   shalatnya   yang dilakukan  dengan  penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi saw.  menegaskan,  "Yang  pertama  kali  akan   diperhitungkan tentang  seorang  hamba  pada  hari  Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak,  maka rusak  pulalah  seluruh  amalnya."  [2] Dan sabda beliau lagi, "Pangkal segala perkara ialah al-Islam  (sikap  pasrah  kepada Allah),  tiang  penyangganya  shalat,  dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah." [3]  Karena   demikian   banyaknya   penegasan-penegasan    tentang pentingnya  shalat  yang  kita  dapatkan  dalam  sumber-sumber agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu  sebaik mungkin.  Berdasarkan  berbagai  penegasan  itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua  bahan  ajaran  dan  tujuan  keagamaan.  Dalam shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan diri  ('ibadah)  kepada  Allah,  Tuhan Yang   Maha  Esa,  dan  melalui  shalat  itu  kita  memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai tujuan  pada  dirinya  sendiri dan makna instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.  Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)  Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan   dalam  keseluruhan  shalat,  baik  dalam  unsur bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara  Ilmu  Fiqih,  shalat dirumuskan  sebagai  "Ibadah  kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan  bacaan-bacaan  dan  tindakan-tindakan  tertentu   yang dibuka  dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan runtutan  dan  tertib  tertentu  yang  diterapkan  oleh  agama Islam." [4]  Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat al-ihram),  yang  mengandung  arti "takbir yang mengharamkan", yakni, mengharamkan segala  tindakan  dan  tingkah  laku  yang tidak  ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap Tuhan. Takbir pembukaan itu  seakan  suatu  pernyataan  formal seseorang  membuka  hubungan  diri dengan Tuhan (habl-un min-a'l-Lah), dan mengharamkan  atau  memutuskan  diri  dari  semua bentuk  hubungan  dengan  sesama manusia (habl-un min al-nas -"hablum minannas"). Maka makna intrinsik  shalat  diisyaratkan dalam  arti  simbolik  takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri  kepada-Nya.  Jika disebutkan  bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar  mereka  menghamba  kepada-Nya,   maka   wujud   simbolik terpenting  penghambaan  itu  ialah  shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan  pernyataan  dimulainya  sikap menghadap Allah.  Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah),  yaitu  bacaan yang  artinya,  "Sesungguhnya  aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh  langit  dan  bumi,  secara hanif  (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik  dan  Benar  itu), dan  aku  tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5] Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku,  darma baktiku,  hidupku  dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan,  dan aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6] Jadi,  dalam  shalat  itu seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan  vertikal  dengan  Allah,  dan  tidak   diperkenankan melakukan  hubungan  horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dalam  keadaan  terpaksa).  Inilah  ide  dasar  dalam   takbir pembukaan   sebagai   takbirat  al-ihram.  Karena  itu,  dalam literatur kesufian  berbahasa  Jawa,  shalat  atau  sembahyang dipandang  sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup), karena memang  kematian  adalah  panutan  hubungan  horizontal sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari pembalasan"  tanpa  hubungan  horizotal   seperti   pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar